Berperang Tanpa Senjata…

Hery Inyo Rm*

DESMOND Doss, seorang anggota pasukan Divisi Infantri ke 77, berada digaris depan perang Okinawa, saat Amerika berperang melawan Jepang, pada musim semi 1945.

Sejak awal—semasa pendidikan militer—dia menolak menggunakan senjata apapun, hingga dibully dan dipukul teman-teman sesama tentara, bahkan diajukan ke mahkamah militer, karena ke-pongah-an Doss. Dia teguh dengan pendiriannya, menolak segala bentuk kekerasan dan pembunuhan.

Pengadilan militer luluh (setelah mendengar argumennya), mengabulkan permintaan Doss, menempatkannya di frontline, sebagai petugas medis.

Doss menyelamatkan sekitar 75 prajurit Amerika seorang diri, sekalipun sudah ada perintah untuk mundur dari garis depan. Semua itu, dilakukan Doss, tanpa memegang sepucuk senjatapun!

Kisah kepahlawanan Desmond Doss, yang wafat 23 Maret 2006 (hari ini, 14 tahun lalu), diangkat ke layar lebar oleh sutradara Mel Gibson pada 2016, berjudul Hacksaw Ridge, berbiaya 40 juta dollar.

Kisah heroik Desmon Doss, mengingatkan saya akan perjuangan tenaga medis memerangi mewabahnya pandemic Covid-19, Virus Corona di tanah air.

Perjuangan para dokter, perawat hingga petugas paramedis lainnya, mengalami situasi yang kurang lebih hampir sama dengan Desmond Doss, berada digaris depan pertempuran. Bedanya, Doss memilih untuk tidak bersenjata!

Para dokter dan paramedis-pun, jika kondisinya memang tidak perlu menggunakan senjata, saya rasa mereka akan gunakan pengetahuan yang mereka miliki untuk maksimal sembuhkan pasien yang terjangkit virus Corona.

Toh, hingga saat ini, memang belum ada obat yang diclaim, sebagai penyembuh virus yang berawal dari kota Wuhan di China ini.

Dokter dan paramedis, selayaknya dipersenjatai dengan Alat Pelindung Diri (APD) memadai, seperti baju, masker, sarung tangan dan penutup kepala, sehingga mereka tidak ikut terjangkit, agar tenaga dan keahlian mereka yang sangat dibutuhkan, dapat benar benar dimaksimalkan.

Tidak terlindunginya dokter dan paramedic dengan “senjata” memadai, cukup membuat banyak orang mengelus dada. Salah satunya, sahabat saya dr. Danny Ngantung. Dalam postingan facebook, Danny cukup geram., dengan mengatakan, “membiarkan petugas medis bertempur tapi ‘telanjang’, itu sama dengan pembunuh yang sadis.”

Faktanya memang demikian. Dr. Hadio Ali Khazatsin, Sp.S, adalah korban teranyar dokter yang meninggal karena terpapar virus laknat ini, termasuk dr. Djoko Judodjoko, dr. Mirza Adi Putra, dan dr. Daniel Silitonga.

Bahwa disinyalir mereka terjangkit karena minimnya APD, memang harus ditelusuri lebih jauh. Satu hal, mereka berada di frontline seperti Desmon Doss, dan bergaul dengan maut, itu pasti!

Dokter dan paramedik, tidak punya pilihan untuk menangani siapapun yang sakit. Karena Virus, kecelakaan, bahkan yang coba bunuh diri sekalipun, mereka berupaya sekuat tenaga untuk mendapatkan kesembuhan.

Apalagi, dokter dan paramedik, harus membagi waktu dengan pasien dengan penyakit kronis lainnya, bukan hanya yang tertular virus ini.

Slogan “I Stay At Work For You, You Stay At Home For Us,” pertama kali diviralkan oleh pekerja medis dari ruang ruang putih rumah sakit (paling tidak saya pertama kali membaca ini dari postingan mereka).

Sungguh sesuatu yang mulia. Dibalik terkurasnya tenaga dan pikiran para petugas kesehatan ini, mereka masih memikirkan orang lain, untuk tetap berada di rumah (himbauan social distance). Padahal, mereka sendiri memiliki keluarga yang juga butuh perhatian.

Seperti halnya Desmon Doss, para dokter dan paramedis, tidak pernah mengeluh dengan apa yang mereka rasakan. Tujuan dan harapan mereka hanya satu. Menyelamatkan sebanyak-banyaknya orang!

Lalu siapa yang memikirkan keselamatan mereka? Ya Allah, pemilik semesta, kepadamu kami berserah!
*Journalist | Praktisi PR

Telah dibaca: 276

Budi Rarumangkay

Berita sejenis