Kampung Para Lelle di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, ritual adat Seke Maneke, sebuah tradisi penangkapan ikan yang telah lama hilang.
Ritual yang dipercaya berusia ratusan tahun yang dihidupkan kembali berkat kerja sama antara masyarakat setempat, Wildlife Conservation Society (WCS), dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara, seiring dengan ditetapkannya Kampung Para Lelle sebagai Desa Wisata Unggulan.
Seke Maneke, yang berarti “mengumpulkan ikan,” merupakan ritual yang melibatkan doa kepada Yang Maha Kuasa untuk keberhasilan menangkap ikan.
Prosesi yang diawali dengan doa yang dipimpin oleh Tetua Adat Albertus Sakendatu, di atas sebuah perahu nelayan tradisional yang dihias dengan sesaji berupa nasi kuning, telur ayam, dan kelapa muda.
Tepat saat matahari terbit, puluhan nelayan melepas “seke” (janur kelapa) ke laut, kemudian menariknya bersama-sama ke pantai. Suasana tegang dan seru tercipta saat nelayan bekerja sama menarik jaring, diiringi teriakan semangat dalam bahasa daerah. Hasilnya pun memuaskan, dengan ikan-ikan yang terlihat di permukaan laut.
Keberhasilan ritual ini tidak hanya tentang hasil tangkapan ikan, tetapi juga tentang nilai-nilai kebersamaan, kearifan lokal, dan gotong royong. Bidar Pansian, Ketua Pokmaswas Kampung Para Lelle, menekankan pentingnya menjaga dan mewariskan kekayaan budaya ini.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pejabat, termasuk Kepala Dinas Pariwisata Sulut dr. Devi Tanos, Staf Khusus Gubernur Bidang Pariwisata Dr. Drevy Malalantang, dan perwakilan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kepala Desa Elengkey Nesae berharap Seke Maneke dapat menjadi atraksi wisata tahunan, mempromosikan Kampung Para Lelle ke kancah internasional.
Elisa Lengkong dari WCS menambahkan bahwa kegiatan ini juga mengkampanyekan praktik penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Ritual Seke Maneke menjadi bukti nyata pelestarian budaya dan keberlanjutan lingkungan di Sulawesi Utara.(pr)